Minggu, 21 April 2013

KOMPLIKASI PERSALINAN KALA III




BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang.

          Persalinan merupakan proses alamiah/ fisiologi yang akan dialami oleh setiap wanita/ibu. Persalinan dapat dibagi dalam 3 tingkat yaitu: kala I dimulai dari kontraksi uterus yang teratur dan berakhir pada pembukaan lengkap serviks, kala II dimulai dari pembukaan lengkap serviks sampai dengan bayi lahir, dan kala III dari bayi lahir sampai keluarnya plasenta. Rata-rata lama kala III berkisar 15-30 menit, baik pada primipara maupun multipara.
          Persalinan memang hal yang fisiologis tetapi keadaan ini dapat berubah menjadi patologi apabila terjadi kelalaian dan kurang hati-hati. Jika hal yang patologik tersebut tidak segera ditangani maka dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi yang dapat membahayakan nyawa ibu. Untuk mencegah hal itu sebaiknya selama masa kehamilan ibu selalu memeriksakan diri kepetugas kesehatan dan jika sudah waktunya melahirkan ibu harus ditolong oleh petugas kesehatan pula (Dr/bidan).












1.2       Rumusan Masalah.
1.     Apa saja macam-macam komplikasi persalinan kala III ?
2.        Apa  pengertian, jenis, gejala, tanda-tanda dan cara mencegah atonia uteri?
3.        Apa pengertian, jenis, gejala, tanda-tanda dan cara penanganan retensio plasenta?
4.        Apa  pengertian, jenis, gejala, tanda-tanda, dan cara penanganan perlukaan jalan lahir?


1.3  Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam komplikasi persalinan kala III
2. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, jenis,gejala, tanda, dan cara mencegah Atonia    Uteri
3. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian , jenis, gejala, tanda, dan cara penanganan Retensio Plasenta
4. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, jenis, gejala, tanda, dan cara penanganan perlukaan jalan lahir
















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian kala III.

                Kala III dimulai sejak lahirnya bayi hingga lahirnya plasenta. Tujuan dari penanganan tahap ketiga ialah pelepasan dan ekspulsi segera plasenta, yang dicapai dengan cara yang paling mudah dan paling aman. Pada umumnya kala III berlangsung ± 6 menit setelah bayi lahir.
Plasenta melekat pada lapisan desidua lapisan basal tipis endometrium oleh banyak vili fibrosa sama seperti sebuah perangko yang ditempel pada sebuah amplop. Setelah janin dilahirkan dengan adanya kontraksi uterus yang kuat, sisi plasenta akan jauh lebih kecil sehingga tonjolan vili akan pecah dan plasenta akan lepas dari perlekatannya. Dalam keadaan normal, beberapa kontraksi kuat pertama lima sampai tujuh menit kelahiran bayi plasenta akan lepas dari lapisan basal. Plasenta tidak akan mudah lepas dari uterus yang kendur karena ukuran permukaan sisi plasenta tidak akan berkurang.

    1.  Pelepasan plasenta diindikasikan dengan tanda-tanda sebagai berikut:
      Fundus yang berkontraksi kuat.
a.       Perubahan bentuk uterus dari bentuk cakram menjadi bentuk oval bulat, sewaktu plasenta bergerak ke arah segmen bagian bawah.
    Darah berwarna gelap keluar dengan tiba-tiba dari introitus.
b.      Vagina (plasenta) penuh pada pemeriksaan vagina atau rectum atau membrane janin terlihat di introitus.
2. Selain itu untuk mengetahahui plasenta telah lepas atau belum maka dapat dilakukan 3 prasat yaitu
a.       Perasat Kustner.
b.      Perasat Strassmann.
c.       Perasat Klein.

2.1.1 Mekanisme pelepasan plasenta.
            Kala III dimulai dari menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis, selanjutnya uterus berkontraksi ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm). Kemudian plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.Selanjutnya adalah pengeluaran plasenta, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Secara klinis tidak penting apakah plasenta pertama-tama tampak pada permukaan janin yang licin/pelepasan dimulai dari tengah (mekanisme schultze) 80% atau plasenta berputar sehingga yang terlihat permukaan maternalnya yang kasar atau lepas dari pinggir plasenta (mekanisme Mathews-Duncan ) 20 %.Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Lepasnya plasenta dari bagian sentral disertai perdarahan retroplasenta - uterus berubah dari bentuk cakram menjadi bulat - Plasenta telah sepenuhnya lepas dan memasuki segmen uterus bagian bawah - Uterus berbentuk bulat - plasenta memasuki vagina - tali pusat terlihat bertambah panjang, dan perdarahan dapat meningkat - ekspulsi plasenta dan berakhirnya kala III.

2.1.2 Pengawasan pendarahan.
            Setelah plasenta berhasil dilahirkan, bidan harus terus memantau tanda-tanda penurunan kesadaran atau perubahan pernafasan. Karena adanya perubahan kardiovaskuler yang cepat (yaitu peningkatan tekanan intracranial sewaktu mengedan dan pertambahan cepat curah jantung). Periode ini merupakan periode dimana dapat terjadi risiko rupture aneurisme serebri yang memang telah ada dan emboli cairan amnion pada paru-paru. Dengan lepasnya plasenta, ada kemungkinan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu jika otot uterus tidak berkontraksi dengan cepat dan baik.

2.1.3  Manajemen aktif kala III.
            Manajemen aktif kala III dilakukan segera setelah bayi lahir, kemudian pastikan bahwa janin yang dilahirkan adalah tunggal dan tidak ada janin selanjutnya yang harus dilahirkan, setelah dipastikan bahwa janin tunggal, langkah selanjutnya adalah manajemen aktif kala III. Manajemen aktif kala III dilakukan untuk mencegah masalah selama proses kelahiran plasenta dan sesudahnya. Berdasarkan hasil penelitian klinis menunjukkan bahwa manajemen aktif kala III persalinan dapat menurunkan angka kejadian perdarahan postpartum, mengurangi lamanya kala III dan mengurangi penggunaan transfuse darah dan terapi oksitosin. WHO telah merekomendasikan kepada semua dokter dan bidan untuk melaksanakan manajemen aktif kala III, apabila manajemen aktif kala III dapat dilakukan dengan benar dan sistematis diharapkan kala III dan selanjutnya akan dapat dilewati dengan aman.

Manajemen aktif kala III terdiri atas beberapa poin penting yaitu;

  • Pemberian oksitosin
Setelah plasenta berhasil dilahirkan selanjutnya menggosok secara sirkuler uterus pada abdomen untuk menjaga agar tetap keras dan berkontraksi dengan baik sehingga dapat mendorong keluar setiap gumpalan darah.

  • Tali pusat diklem, plasenta dilahirkan melalui peregangan tali pusat terkendali dengan kontra peregangan pada fundus

       2.3   Pemeriksaan plasenta, selaput ketuban dan tali pusat. 

 Langkah selanjutnya setelah MAK III adalah melakukan pemeriksaan terhadap plasenta, selaput ketuban, dan tali pusat. Pemeriksaan terhadap plasenta meliputi kelengkapan kotiledon, keutuban  selaput plasenta, warna plasenta, panjang, lebar, tebal plasenta dan tali pusat.
      
       2.4   Pemantauan
 Setelah plasenta lahir lengkap maka dilakukan pemantauan terhadap kontraksi, robekan jalan lahir dan perineum, tanda vital, serta higiene.

Pemantauan
Hasil
Kontraksi
Kontraksi yang baik akan teraba keras dan globuler. Tinggi fundus uteri sebelum plasenta lahir sekitar setinggi pusat, setelah plasenta lahir tinggi fundus akan turun sekitar 2 jari dibawah pusat.
Robekan jalan lahir dan perineum
Robekan jalan lahir yang dapat direparasi oleh bidan adalah robekan derajat 1 dan 2 pada perineum. Yaitu dari mukosa vagina sampai ke otot vagina.
Tanda vital
Tekanan darah mungkin mengalami sedikit penurunan dibandingkan ketika kala I dan II, nadi normal , suhu tidak lebih dari 37,5°, respirasi normal.
Higiene
Setelah dinyatakan ibu dalam kondisi baik, maka ibu dibersihkan seperlunya hingga ibu nyaman.




2.5   Kebutuhan ibu pada kala III.
            Segera setelah bayi lahir, bayi diletakkan diperut ibu untuk dikeringkan tubuhnya kecuali kedua telapak tangan, selanjutnya bayi akan diselimuti dan diletakkan didada ibu untuk selanjutnya berusaha mencari putting susu ibu. Selama kala III ibu sangat membutuhkan kontak kulit dengan bayi, dengan IMD maka kontak kulit yang terjalin dapat memberikan ketenangan tersendiri pada ibu, selain itu manfaat IMD lainnya adalah menjaga suhu tubuh bayi tetap hangat, dan dapat membantu kontraksi uterus melalui tendangan-tendangan lembut dari kaki bayi.

       2.6   Pendokumentasian kala III.
            Pendokumentasian yang dilakukan pada kala III mencatat semua kejadian selama kala III mulai dari lahirnya bayi hingga lahirnya plasenta.
  •  Data Subyektif yang dapat diketahui pada kala III antara lain dari keluhan yang dirasakan ibu sesaat setelah bayi lahir. 
  •  Data Obyektif yang dapat diketahui pada kala III antara lain berdasarkan observasi yang dilakukan selama kala III seperti tanda-tanda pelepasan plasenta.
  •  Assasement yang dapat disusun berdasarkan data subyektif dan data obyektif adalah bahwa ibu sudah memasuki kala III. 
  • Planning yang dapat disusun antara lain segera melahirkan plasenta dengan cara manajemen aktif kala III.





BAB III

PEMBAHASAN


3.1 Perdarahan pada kala III
            Perdarahan pada kala III umum terjadi dikarenakan terpotongnya pembuluh-pembuluh darah dari dinding rahim bekas implantasi plasenta/karena sinus-sinus maternalis ditempat insersinya pada dinding uterus terbuka. Biasanya perdarahan itu tidak banyak, sebab kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pembuluh-pembuluh darah yang terbuka, sehingga lumennya tertutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah. Jumlah darah yang umum keluar tidak lebih dari 500cc atau setara dengan 2,5 gelas belimbing. Apabila  setelah lahirnya bayi darah yang keluar melebihi 500cc maka dapat dikategorikan mengalami perdarahan pascapersalinan primer. Pada pasien yang mengalami perdarahan pada kala III atau mengalami pengeluaran darah sebanyak >500cc, tanda-tanda yang dapat dijumpai secara langsung diantaranya perubahan pada tanda-tanda vital seperti pasien mengeluh lemah, linlung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, sistolik <90 mmHg, nadi >100 x/mnt, kadar Hb <8 g%. 
            Perdarahan primer terjadi dalam 24 jam pertama dan sekunder sesudah itu. Hal-hal yang menyebabkan perdarahan post partum adalah;
·         Atonia uteri.
·         Perlukaan jalan lahir.
·         Terlepasnya sebaggian plasenta dari uterus.
·         Tertinggalnya sebagian dari plasenta umpamanya klotiledon atau plasenta suksenturiata.

            Kadang-kadang perdarahan disebabkan kelainan proses pembekuan darah akibat dari hipofibrinogenemia(solution plasenta, retensi janin mati dalam uterus, emboli air ketuban). Apabila sebagian plasenta lepas sebagian lagi belum, terjadi perdarahan karena uterus tidak bisa berkontraksi dan beretraksi dengan baik pada batas antara dua bagian itu. Selanjutnya apabila sebagian plasenta sudah lahir, tetapi sebagian kecil masih melekat pada dinding uterus, dapat timbul perdarahan dalam masa nifas. Sebab terpenting pada perdarahan post partum adalah atonia uteri.

1.   Atonia uteri

   A. Pengertian:
a.   Atonia uteri adalah tidak adanya tegangan/ kekuatan otot pada daerah uterus/rahim.
(Kamus Kedokteran Dorland).
b.  Atonia uteri adalah dimana rahim tidak dapat berkontraksi dengan baik setelah persalinan, terjadi pada sebagian besar perdarahan pasca persalinan.
(Obstetri edisi ke 2, 1998:254).
c.  Atonia uteri adalah keadaan dimana uterus tidak berkontraksi setelah anak lahir.
(Phantom:358).




B. Penyebab
Atonia uteri dapat terjadi karena:
a.       Partus lama, karena tak ada pemicu kontraksi/hormon oksitosin lemah.
b.      Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil kembar,  hidramnion, janin besar.
c.       Kegagalan kontraksi uterus/ otot rahim.
d.      Multiparitas.
e.       Anastesi yang dalam.
f.       Anestesi  lummbal.
g.      Terjadinya retroplasenta→perdarahan plasenta dalam uterus.
            Atonia juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.

C. Gejala Klinis:
a.       Uterus tidak berkontraksi dan lunak
b.      Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).

D. Gejala:
a.       Nadi serta pernafasan menjadi lebih cepat.
b.      Tekanan darah menurun.
c.       Syok karena perdarahan.
d.      Kala III : perdarahan  dari liang senggama 500cc/lebih.



E. Pencegahan
Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu pemberian oksitosin segera setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U perliter Intravenous drips 100-150 cc/jam.
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi.
Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.Oksitosin mempunyai onset yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti preparat ergometrin.

Masa paruh oksitosin lebih cepat dari Ergometrin yaitu 5-15 menit.
Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan perdarahan postpartum.

Perbedaan perdarahan atonia uteri dan perdarahan karena robekan serviks.
Perdarahan Karena Atonia
Perdarahan Karena Robekan Serviks
  • Kontraksi uterus lemah. 
  •  Darah berwarna merah tua karean berasal dari vena.
  •   Kontraksi uterus lemah.
  •  Darah berwarna merah muda karena    berasadari arteri.
  •  Biasanya timbul setelah persalinan operatif.


F. Penanganan Atonia uteri.
            Terapi terbaik adalah pencegahan;
a.       Anemia
b.      Anemia dalam kehamilan harus diobati, karena perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia.
c.       Apabila sebelumnya penderita sudah mengalami perdarahan post partum, persalinan harus berlangsung  dirumah sakit.
d.      Kadar fibrinogen harus diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus dan solution plasenta.
e.       Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya.
f.       Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan post partum. Sepuluh    satuan oksitosin diberikan intramuscular setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan     plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskulus.

   F. Pengobatan:
              Pengobatan perdarahan post partum pada uteri tergantung pada banyaknya perdarahan yang diderita dan derajat atonia uteri. Dibagi dalam 3 tahap:
Tahap I : Perdarahan yang tidak begitu banyak dapat diatasi dengan cara:
   Pemberian uterotonika, misalnya oksitosin 10IU dan infuse 20 IU dalam 500 ml    NS/RL tetes/guyur.
Mengurut rahim.
Memasang gurita.
Tahap II : bila perdarahan belum berhenti dan bertambah banyak selanjutnya berikan infuse dan transfuse darah, dan dapat dilakukan
 Kompresi bimanual.
Kompresi aorta.
Tamponade uterovaginal.
Jepitan arteri uterine dengan cara Henkel
Tahap III : bila semua upaya diatas tidak menolong juga, maka usaha terakhir adalah menghilngkan sumber perdarahan, dapat ditempuh dengan dua cara yaitu dengan metigrasi arteri hipogastrika/histerektomi.

2.   Restensio plasenta

A. Pengertian yaitu:
  •  Retensio plasenta adalah apabila plasenta belum lahir setengah jam sesudah anak lahir
  • .Retensio plasenta adalah apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir
  •  Retensio plasenta adalah tertahannya/ belum lahirnya plasenta hingga/ melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.
  •  Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah persalinan bayi.

B. Patofisiologi.
          Retensio plasenta dalam rahim akan mengganggu kontraksi dan retraksi, menyebabkan sinus-sinus darah tetap terbuka, dan menimbulkan HPP. Begitu bagian plasenta terlepas dari dinding uterus, perdarahan terjadi di daerah itu. Bagian plasenta yang masih melekat merintangi retraksi miometrium dan perdarahan berlangsung terus sampai sisa organ tersebut terlepas serta dikeluarkan.

C. Diagnosa.
Pada pemeriksaan luar: fundus/korpus ikut tertarik apabila tali pusat ditarik.
Pada pemeriksaan dalam: sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang dalam.


D.    Jenis-jenis retensio plasenta:
  1. Plasenta Adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis. 
  2. Plasenta Akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium. 
  3. Plasenta Inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/memasuki miometrium.
  4.  Plasenta prekreta adalah implantasi jonjot korion yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serasa dinding uterus.
  5.  Plasenta inkarsereta adalah tertahannya plasenta didalam kavum uteri disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.

E. Etiologi
Penyebabnya ialah;
·         Perlekatan plasenta/ plasenta belum lepas dari dinding uterus, karena tumbuh melekat lebih dalam yang menurut tingkat pelengkatannya dibagi menjadi:
o   Plasenta Adhesiva, yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
o   Plasenta Inkreta, dimana villi koriales tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium.
o   Plasenta Akreta, yang menembus lebih dalam kedalam miometrium tetapi belum menembus serosa.
o   Plasenta prekreta, yang menembus samapi serosa/peritoneum dinding rahim.
·         Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena Atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya  lingkaran kontriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar(plasenta inkarsereta).
            Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak akan terjadi perdarahan, tapi jika lepas sebagian, akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih/rectum penuh, karena itu keduanya harus dikosongkan.


F. Faktor-faktor predisposisi
1)      Gemeli.
2)      Overdisyensi Rahim.
3)      Atonia Uteri.
4)      Anomoli Rahim.
5)      Fibroid.

Bentuk Perdarahan:
  •  Perdarahan pasca partus berkepanjangan sehingga patrun pengeluaran lokhea, disertai darah lebih    dari 7-10 hari.
  •  Dapat terjadi perdarahan baru setelah patruin pengeluaran lokhea normal.
  •  Dapat berbau, akibat infeksi.

G. Gejala Retensio Plasenta.
Gejala
Separasi/ akreta parsial
Plasenta inkarsereta
Plasenta akreta
1)      Konsistensi uterus
2)      Tinggi fundus
3)      Bentuk uterus
4)      Perdarahan
5)      Tali pusat
6)      Ostium uteri
7)      Separasi plasenta
8)      Syok
Kenyal

Sepusat
Discoid
Sedang-banyak
Terjulur sebagian
Terbuka
 Lepas sebagian

Sering
Keras

2 jari bawah pusat
Agak globuler
Sedang
Terjulur
Konstriksi
Sudah lepas

Jarang
Cukup

Sepusat
Discoid
Sedikit/tidak ada
Tidak terjulur
Terbuka
Melekat seluruhnya

Jarang sekali, kecuali akibat inversion oleh tarikan kuat pada tali pusat.

Komplikasi :
1)      Sumber infeksi.
2)      Terjadi plasenta polip.
3)      Degenerasi korio karsinoma.
4)      Dapat menimbulkan gangguan pembekuan darah.

H. Penanganan.
            Apabila plasenta belum lahir 30 menit setelah bayi lahir, harus diusahakan untuk mengeluarkannya. Tindakan yang biasa dilakukan adalah manual plasenta. Dapat dicoba dulu prast menurut Crede. Tindakan ini sekarang tidak banyak dianjurkan karena memungkinkan terjaadinya inversio uteri; tekanan yang keras pada uterus dapat pula menyebabkan perlukaam pada otot uterus dan rasa nyeri keras dan kemungkinan syok. Akan tetapi dengan teknik yang sempurna hal itu dapat dihindarkan. Cara lain untuk pengeluaran plasenta adalah cara Brandt. Dengan salah satu tangan penolong memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain diletakkan pada dinding perut diatas simfisis sehingga permukaan palmar jari-jari tangan terletak dipermukaan depan rahim, kira-kira pada perbatasan segmen bawah dan badan rahim. Dengan melakukan tekanan kearah atas belakang, maka badan rahim akan terangkat. Apabila plasenta telah lepas maka, tali pusat tidak tertarik keatas. Kemudian tekanan diatas simfisis diarahkan kebawah belakang, kearah vulva. Pada saat ini dilakukan tarikan ringan pada tali pusat untuk membantu mengeluarkan plasenta. Yang selalu tidak dapat dicegah adalah bahwa plasenta tidak dapat dilahirkan seluruhnya, melainkan sebagian masih ketinggalan yang harus dikeluarkan dengan tangan. Pengeluaran plasenta dengan tangan kini dianggap cara yang paling baik. Dengan tangan kiri menahan fundus uteri supaya uterus jangan naik keatas, tangan kanan dimasukkan dalam kavum uteri. Dengan mengikuti taki pusat, tangan itu sampai pada plasenta dan mencari pinggir plasenta. Kemudian jari-jari tangan itu dimasukkan pinggir plasenta dan dinding uterus. Biasanya tanpa kesulitan plasenta sedikit demi sedikit dapat dilepaskan dari dinding uterus untuk kemudian dilahirkan.Banyak kesulitan dialami dalam pelepasan plasenta pada plasenta akreta. Plasenta hanya dapat dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahan serta pervorasi mengancam. Apabila berhubungan dengan kesulitan-kesulitan tersebut diatas akhirnya diagnosis plasenta inkreta dibuat, sebaiknya usaha mengeluarkan plasenta secara bimanual di hentikan, lalu dilakukan histerekt.Pada plasenta yang sudah lepas, akan tetapi terhalang untuk dilahirkan karena lingkaran konstriksi(inkarsearsio plasenta) tangan kiri penolong dimasukkan kedalam vagina dan kebagian bawah uterus dengan dibantu oleh anesthesia umum untuk melonggarkan konstriksi. Dengan tangan tersebut sebagai petunjuk dimasukkan cunam ovum melalui lingkaran konstriksi untuk memegang plasenta, dan perlahan-lahan plasenta sedikit demi sedikit ditarik kebawah melalui tempat sempit itu.

3.   Inversio uteri.
          Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III/ segera setelah plasenta keluar. Menurut perkembangannya inversion uteri dapat dibagi dalam beberapa tingkat, yaitu;
·         Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang tersebut.
·         Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.
·         Uterus dengan vagina, semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar vagina.

A. Gejala-gejala klinik.
            Inversio uteri bisa terjadi spontan/ sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan atonia uteri kenaikan tekanan intra abdominal dengan mendadak karena batuk/ meneran, dapat menyebabkan masukmya fundus kedalam kavum uteri yang merupakan permulaan inversion uteri.
          Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri adalah prasat Crede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik, dan tarikan pada talil pusat plasenta yang belum lepas dari dinding uterus. Gejala-gejala inversion uteri pada permukaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila kelainan itu sejak awalnya tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok. Rasa nyeri yang keras disebabkan kareana fundus uteri menarik adneksa serta ligamentum infundibulopelvikum dan ligamentum rotundum kanan dan kirinkedalam terowongan inversion dan dengan demikian mengadakan tarikan yang kuat pada peritoneum parietal. Kecuali jika plasenta yang seringkali belum lepas dari uterus masih melekat seluruhnya pada dinding uterus, terjadi juga perdarahan.

B. Diagnosis.
          Diagnosis tidak sukar dibuat jika dingat kemungkinan inversion uteri. Pada perdarahan dengan syok, perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III/ setelah persalinan selesai, pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas servik uteri/ didalam vagina, sehingga diagnosis inversion uteri dapat dibuat.
          Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam vagina terdapat pula tumor yang serupa, akan tetapi fundus uteri ditemukan dalam bentuk dan pada tempat biasa, sedang konsistensi mioma lebih keras daripada korpus uteri setelah persalinan. Selanjutnya jarang sekali mioma submukosum ditemukan pada persalinan cukup bulan/ hampir cukup bulan.

C. Prognosis.
          Walaupun kadang-kadang inversio uteri bisa terjadi tanpa banyak gejala dengan penderita tetap dalam keadaan baik, namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan keadaan gawat dengan angka kematian tinggi(15-70%). Reposisi secepat mungkin memberikan harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.

D. Penanganan.
            Dalam memimpin persalinan harus dijaga kemungkinan timbulnya inversion uteri. Tarikan pada tali pusat sebelum plasenta benar-benar lepas, jangan dilakukan apabila dicoba melakukan prasat Crede harus diindahkan sebelumnya syarat-syaratnya.
            Apabila terdapat inversio uteri dengan gejala syok, gejala-gejala itu perlu diatasi terlebih dahulu dengan infuse intravena cairan elektrolit dan transfuse darah, akan tetapi segera setelah itu reposisi harus dilakukan. Makin kecil jarak waktu antara terjadinya inversion uteri dan reposisinya, makin mudah tindakan ini dapat dilakukan. Untuk melakukan reposisi yang perlu diselenggarakan dengan anesthesia umum, tangan seluruhnya dimasukkan kedalam vagina sedang jari-jari tangan dimasukkan kedalam kavum uteri melalui serviks uteri yang mungkin sudah mulai menciut, telapak tangan menekan korpus perlahan-lahan tetapi terus menerus kearah atas agak kedepan sampai korpus uteri melewati serviks dan inversio ditiadakan. Suntikan intravena 0,2 mg ergometrin kemudian diberikan dan jika dianggap masih perlu, dilakukan tamponade uterovaginal.
            Apabila reposisi pervaginam gagal, sebaiknya dilakukan pembedahan menurut Haultein. Dikerjakan laparotomi, dinding belakang lingkaran konstriksi dibuka, sehingga memungkinkan penyelenggaraan reposisi uterus sedikit demi sedkit, kemudian luka dibelakang uterus dijahit dan luka laparotomi ditutup.
            Pada inversion uteri menahun, yang ditemukan beberapa lama setelah persalinan, sebaiknya ditunggu berakhirnya involusi untuk kemudian dilakukan pembedahan pervaginam(pembedahan menurut Spinelli).


4. Robekan / Perlukaan Jalan Lahir
1.  Pengertian Robekan Jalan Lahir
Perdarahan dalam keadaan dimana plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi rahim baik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan jalan lahir.
Perlukaan jalan lahin terdiri dari :
a.         Robekan Perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika
Perinium merupakan kumpulan berbagai jaringan yang membentuk perinium (Cunningham,1995). Terletak antara vulva dan anus, panjangnya kira-kira 4 cm (Prawirohardjo, 1999). Jaringan yang terutama menopang perinium adalah diafragma pelvis dan urogenital. Diafragma pelvis terdiri dari muskulus levator ani dan muskulus koksigis di bagian posterior serta selubung fasia dari otot-otot ini. Muskulus levator ani membentuk sabuk otot yang lebar bermula dari permukaan posterior ramus phubis superior, dari permukaan dalam spina ishiaka dan dari fasia obturatorius.Serabut otot berinsersi pada tempat-tempat berikut ini: di sekitar vagina dan rektum, membentuk sfingter yang efisien untuk keduanya, pada persatuan garis tengah antara vagina dan rektum, pada persatuan garis tengah di bawah rektum dan pada tulang ekor.Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis, yaitu di daerah segitiga antara tuberositas iskial dan simpisis phubis. Diafragma urogenital terdiri dari muskulus perinialis transversalis profunda, muskulus konstriktor uretra dan selubung fasia interna dan eksterna (Cunningham, 1995).Luka perinium adalah perlukaan yang terjadi akibat persalinan pada bagian perinium dimana muka janin menghadap (Prawirohardjo S,1999).

Luka perinium, dibagi atas 4 tingkatan :

Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perinium
Tingkat II : Robekan mengenai selaput lender vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak mengenai spingter ani
Tingkat III : Robekan mengenai seluruh perinium dan otot spingter ani
Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rektum

Umumnya terjadi pada persalinan karena :

1.      Kepala janin terlalu cepat lahir
2.      Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3.      Jaringan parut pada perinium
4.      Distosia bahu

Tanda dan Gejala yang selalu ada :

1.      Pendarahan segera
2.      Darah segar yang mengalir segera setelah bayi hir
3.      Uterus kontraksi baik
4.      Plasenta baik

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada

1.      Pucat
2.      Lemah
3.      Menggigil

5.       Rupture Uteri
Ruptur uteri merupakan peristiwa yang paling gawat dalam bidang kebidanan karena angka kematiannya yang tinggi. Janin pada ruptur uteri yang terjadi di luar rumah sakit sudah dapat dipastikan meninggal dalam kavum abdomen.
Menurut Sarwono Prawirohardjo pengertian ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akiat dilampauinya daya regang mio metrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi janin dan panggul, partus macet atau traumatik.
Ruptura uteri termasuk salahs at diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat pada perut bawah, diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam. Robekan tersebut dapat mencapai kandung kemih dan organ vital di sekitarnya. Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
  1. Ruptur Uteri Gravidarum adalah rupture yang terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus. 
  2. Ruptur Uteri Durante Partum adalah rupture yang terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.

Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara :
1.      Menurut lokasinya:

  • Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ), miemoktomi 
  •  Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya 
  • Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsipal atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap 
  • Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina

2.      Menurut robeknya peritoneum

  1. Rupture uteri Kompleta : robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya ( perimetrium ) ; dalam hal ini terjadi hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis 
  2. Rupture uteri Inkompleta : robekan otot rahim tanpa ikut robek peritoneumnya. Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas ke ligamen latum


3.      Menurut etiologinya

Ruptur uteri spontanea menurut etiologinya dikarenakan dinding rahim yang lemah dan cacat, bekas seksio sesarea, bekas miomectomia, bekas perforasi waktu keratase.


Pembagian rupture uteri menurut robeknya dibagi menjadi :
1. Ruptur uteri kompleta
a. Jaringan peritoneum ikut robek
b. Janin terlempar ke ruangan abdomen
c. Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
d. Mudah terjadi infeksi

2.       Ruptura uteri inkompleta

a. Jaringan peritoneum tidak ikut robek
b. Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
c. Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
d. Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma



BAB IV
PENUTUP


4.1  KESIMPULAN
          Komplikasi persalinan kala III merupakan masalah yang terjadi setelah janin lahir/ berada diluar rahim. Komplikasi yang terjadi adalah perdarahan yang sering menyebabkan kefatalan/kematian bila tidak ditangani sesegera mungkin. Perdarahan post partum dibagi menjadi dua yaitu perdarahan primer dan sekunder, perdarahan  primer terjadi dalam 24 jam pertama dan sekunder sesudah itu. Hal-hal yang menyebabkan perdarahan post partum adalah; Atonia uteri, retensio plasenta, perlukaan jalan lahir, terlepasnya sebagian plasenta dari uterus, tertinggalnya sebagian dari plasenta umpamanya klotiledon atau plasenta suksenturiata. Kadang-kadang perdarahan disebabkan oleh kelainan proses pembekuan darah akibat dari hipofibrinogenemia(solution plasenta, retensi janin mati dalam uterus, emboli air ketuban).
            Penanganan yang dilakukan pada setiap kasus berbeda-berbeda tergantung pada kasus yang diderita/ banyaknya perdarahan. Misalnya pada atonia uteri penanganannya dengan melakukan Kompresi Bimanual Interna/Eksterna, bila perdarahan tidak dapat diatasi untuk menyelamatkan nyawa ibu maka dilakukan histerektomi supravaginal. Pada retensio plasenta penanganannya manual plassenta. Sedang pada inversion uteri penanganannya dengan reposisi pervaginam jika masih tetap maka dilakukan laparotomi, dan pada perlukaan jalan lahir maka penanganannya dengan penjahitan.











4.2  SARAN
 
4.2.1 Bidan dan tenaga kesehatan lainnya
Dalam memberikan asuhan kebidanan harus sesuai standar manajemen kebidanan, sehingga masalah yang dihadapi klien teratasi.

4.2.2 Klien
Klien hendaknya berdifat kooperatif dengan tenaga kesehatan dan mengikuti segala saran dan nasehat dari tenaga kesehatan.
 























DAFTAR PUSTAKA

Prawiroharjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. YBP-SP. Jakarta.
JNPKKR-POGI “Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal” 2001,Yayasan Bina pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.




















0 komentar:
Poskan Komentar
Subscribe to: Poskan Komentar (Atom)
HTML

Tidak ada komentar:

Posting Komentar